Segala puji bagi
Alloh. Sholawat dan salam semoga terlimpah kepada Rosululloh, keluarganya, para
sahabatnya, dan siapa saja yang loyal padanya. Amma ba'd:
Rosululloh shollaAllohu
‘alayhi wa sallam telah bersabda:
طَلَبُ العِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut
ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim.” [Diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dan lainnya. Sanadnya didho’ifkan oleh mayoritas ahli ilmu dan
dihasankan oleh yang lain seperti as-Suyuthiy dan al-Mizziy. Tetapi ma’na hadis
disepakati di antara ahlul ilmu.]
Mengomentari hadits
ini, al-Bayhaqiy berkata: “Yang beliau maksud —wallohu a’lam—tidak lain
adalah ilmu umum yang tidak boleh tidak diketahui oleh orang baligh yang
berakal.” [al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubro]
Imam asy-Syafi’iy
ditanya: “Apa itu ilmu? Dan apa di antara yang wajib atas manusia?” Dia
berkata: “Ilmu itu ada dua macam. (Pertama), ilmu yang tidak boleh tidak
diketahui oleh orang baligh yang akalnya tidak rusak. Ilmu ini ada dalam Kitab
Alloh, serta diriwayatkan dan diceritakan oleh kaum muslimin dari RosulullohshollaAllohu
‘alayhi wa sallam. Dan mereka tidak berselisih tentang kewajibannya.” [ar-Risalah
karya asy-Syafi’iy]
Di antara yang
disepakati oleh para ahlul ‘ilmi adalah bahwa ilmu syar’i terbagi—dari segi
kewajibannya—ke dalam dua jenis:
Pertama, fardhu
kifayah, yaitu yang wajib dipelajari dan dijaga oleh umat Islam secara
keseluruhan. Jika sebagian dari kaum muslimin telah mengerjakannya dengan
cukup, maka mereka mendapatkan keutamaan dan pahala, dan dosa telah gugur dari
semua. Dan jika tidak ada sebagian yang mengerjakannya dengan cukup, maka
seluruh kaum muslimin berdosa. Di antara ilmu yang fardhu kifayah adalah:
menghafal al-Qur-an dan tafsirnya, hadits dan ilmu-ilmunya, ushul fiqh, dsb.
Jenis kedua dari ilmu
sya’i adalah fardhu ‘ayn, wajib atas setiap mukallaf—yaitu setiap muslim yang
baligh dan berakal—untuk mempelajarinya. Jika dia berpaling darinya atau
melalaikannya, maka dia berdosa. Dan di antara perkara-perkara yang hukumnya
fardhu ‘ain atas setiap muslim dan muslimah untuk mempelajarinya dalam aqidah
adalah:
Perkara pertama: al-Ushul
ats-Tsalatsah (Tiga Hal Pokok)
Yaitu pengetahuan
hamba tentang Robbnya, agamanya, dan Nabi-Nya MuhammadshollaAllohu ‘alayhi
wa sallam.
Jika dikatakan
kepadamu: “Siapa Robbmu?” maka katakanlah: Robbku adalah Alloh yang telah
mengurusku dan mengurus alam semesta dengan nikmat-nikmat-Nya. Dan Dia adalah
Sembahanku. Aku tidak memiliki sembahan selain-Nya.
Jika dikatakan
kepadamu: “Apa agamamu?” maka katakanlah: Agamaku adalah Islam. Dan ia adalah berserah
diri pada Alloh dengan tauhid, tunduk pada-Nya dengan ketaatan, serta berlepas
diri dari kesyirikan dan para para penganutnya.
Dan jika dikatakan
kepadamu: “Siapa Nabimu?” maka katakanlah: Muhammad bin Abdulloh bin Abdul
Muththolib bin Hasyim. Hasyim adalah sebagian dari kabilah Quroisy. Kabilah Quroisy
adalah sebagian dari bangsa Arab. Dan bangsa Arab adalah keturunan Isma’il bin Ibrohim‘alayhima
wa ‘ala nabiyyina afdholush sholati wat taslim.
Perkara kedua: pokok
agama dan pondasinya adalah dua perkara
1. Perintah
untuk beribadah kepada Alloh semata tiada sekutu bagi-Nya, motivasi untuk
melakukan itu, loyalitas atas dasarnya, dan mengkafirkan orang yang
meninggalkannya.
2. Peringatan
akansyirik dalam beribadah kepada Alloh, kecaman keras terhadapnya, permusuhan
atas dasarnya, dan pengkafiran orang yang mengerjakannya.
Dari pokok ini
bercabanglah aqidah al-wala’ wal baro’ yang kokoh. Dan pokok aqidah ini
berdiri di atas prinsip pemisahan dan pembedaan antara kaum muslimin dan
lainnya atas dasar agama, bukan atas dasar tanah dan nasionalisme. Seorang
muslim muwahhid adalah saudaraku di jalan Alloh, aku loyal kepadanya dan
menolongnya, meskipun dia adalah orang yang (berjarak) paling jauh. Sementara
orang kafir dan orang murtad adalah musuhku,aku membenci dan memusuhinya,
meskipun dia adalah orang yang (berjarak) paling dekat.
Perkara ketiga: ma’nala
ilaha illalloh
Laa ilaaha illaAlloh adalah
pemisah antara kufr dan Islam, ia adalah kalimat taqwa (kalimatut taqwa)
dan ia adalah tali yang kuat (al-‘urwah al-wutsqo), ia tidak terwujud dengan
sekadar mengucapkannya disertai ketidaktahuan tentang ma’nanya dan tanpa
mengerjakan konsekuensinya. Sebab, orang-orang munafiq mengucapkannya, tetapi
mereka berada di tingkatan paling bawah dari neraka. Ia hanya terwujud dengan
mengucapkannya, mengetahui ma’nanya, mencintainya, mencintai para penganutnya
dan loyal kepada mereka, serta membenci orang yang menyelisihinya, memusuhinya,
dan memeranginya.
Syahadat laa ilaaha
illaAlloh adalah penafian dan penetapan. Laa ilaaha (tiada ilah) menafikan
segala macam peribadatan dari selain Alloh ta’ala. Dan illaAlloh(kecuali
Alloh) menetapkan segala macam peribadatan kepada Alloh semata tiada sekutu
bagi-Nya.
Di antara konsekuensi
syahadat laa ilaaha illaAlloh adalah syahadat bahwa Muhammad
Rosululloh. Dan syahadat Muhammad Rosululloh terwujud dengan mentaati
Nabi shollaAllohu ‘alayhi wa sallam dalam apa yang diperintahkannya,
menjauhi apa yang dilarang dan dicegahnya, dan membenarkannya dalam apa yang
diberitakannya.
Perkara keempat:
syarat-syarat laa ilaaha illaAlloh
Alloh ta’ala
menjadikan kalimat tauhid laa ilaaha illaAllohsebagai tanda masuk ke
dalam Islam, harga surga dan sebab keselamatan dari neraka. Tetapi ia tidak
akan bermanfaat bagi orang yang mengucapkannya selama dia tidak mewujudkan
syarat-syaratnya. Telah dikatakan kepada al-Hasan al-Bashriy: “Sesungguhnya ada
orang-orang yang megatakan: Barang siapa mengucapkan laa ilaaha illaAlloh,
maka dia akan masuk surga?” Dia berkata: “Barang siapa mengucapkan laa ilaaha
illaAlloh, lalu menunaikan hak dan kewajibannya, maka dia akan masuk
surga.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam karya Ibnu Rojab al-Hanbaliy]
Imam al-Bukhoriy
berkata: Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih: “Bukankah laa ilaaha illaAlloh adalah
kunci surga?” Dia berkata: “Benar. Tetapi tidak ada kunci kecuali ia memiliki
gerigi. Jika engkau membawa kunci yang memiliki gerigi, maka akan dibukakan
bagimu. Dan jika tidak, maka tidak akan dibukakan bagimu.” [Jami’ul ‘Ulum
wal Hikam karya Ibnu Rojab al-Hanbaliy]
Gerigi kunci surga
adalah syarat-syarat laa ilaaha illaAlloh. Dan syarat-syarat laa ilaaha
illaAllohadalah:
1. Pengetahuan
tentang ma’nanya dari segi penafian dan penetapan.
2. Yaqin,
yaitu kesempurnaan pengetahuan tentangnya yang meniadakan keraguan dan
kebimbangan.
3. Ikhlash
yang meniadakan syirik.
4. Kejujuran
yang meniadakan kedustaan.
5. Kecintaan
kepada kalimat ini dan kepada apa yang ditunjukkan olehnya, serta kegembiraan
dengan hal itu.
6. Ketundukan
terhadap hak-haknya dengan ikhlash untuk Alloh dan demi mencari ridho-Nya.
7. Penerimaan
yang meniadakan penolakan.
Semua syarat ini
ditunjukkan oleh dalil-dalil yang jelas dari al-Kitab dan as-Sunnah yang
shohih.
Perkara kelima:
pembatal-pembatal Islam
Ada banyak hal-hal
yang mengeluarkan seorang muslim dari lingkaran Islam, dan jika dia melanggar
maka dijatuhkan padanya nama murtad dari agama tauhid. Yang terbesar di
antaranya sepuluh, yaitu:
1. Syirik
dalam beribadah kepada Alloh ta’ala.
2. Menjadikan
antara dirinya dan Alloh perantara-perantara yang dia seru, dia mintai syafa’at
dan dia jadikan sebagai sandaran (tawakkal).
3. Tidak
mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan kekafiran mereka, atau
membenarkan madzhab mereka.
4. Meyakini
bahwa selain petunjuk Nabi shollaAllohu ‘alayhi wa sallam lebih sempurna
daripada petunjuk beliau atau bahwa keputusan selain beliau lebih baik daripada
keputusan beliau.
5. Membenci
sesuatu dari apa yang dibawa oleh Rosululloh shollaAllohu ‘alayhi wa sallam.
6. Mengolok-olok
Alloh atau Kitab-Nya atau Rosul-Nya.
7. Sihir,
di antaranya shorf (memalingkan laki-laki dari istrinya atau sebaliknya,
-pent) dan ‘athf (menimbulkan kecintaan laki-laki kepada istrinya
atau sebaliknya, -pent).
8. Mendukung
kaum musyrikin dan membantu mereka terhadap kaum muslimin.
9. Meyakini
bahwa sebagian manusia boleh keluar dari syariat Nabi Muhammad shollaAllohu
‘alayhi wa sallam, sebagaimana Khidhir boleh keluar dari syariat Musa ‘alayhis
salam.
10. Berpaling
dari agama Alloh ta’ala, tidak mempelajarinya dan tidak mengamalkannya.
Dalam seluruh
pembatal Islam tersebut tidak ada bedanya antara orang yang bersenda gurau,
serius ataupun karena takut, kecuali orang yang terpaksa.
Perkara keenam:
macam-macam tauhid
1.
Tauhid
ar-rububiyyah, yaitu mentauhidkan Alloh dengan
perbuatan-perbuatan-Nya. Itu terwujud dengan meyakini bahwa Alloh adalah yang
menciptakan semua makhluk sendirian, memberi mereka rezeki sendirian, dan
mengatur segala urusan sendirian.
Mayoritas
manusia—dengan fitrah mereka—meyakini bahwa Alloh adalah Al-Kholiq (yang
menciptakan), Ar-Roziq (yang memberi rezeki), Al-Muhyi (yang menghidupkan), dan
Al-Mumit (yang mematikan). Mereka mengakui semua itu dan membenarkannya. Bahkan
sampai orang-orang kafir yang diperangi oleh Rosululloh shollaAllohu ‘alayhi
wa sallam dan dihalalkan oleh beliau darah dan harta mereka pun membenarkan
semua itu. Dalilnya firman Alloh ta’ala:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ
السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ
الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللهُ.
“Katakanlah (Muhammad): Siapakah yang memberi rezeki
kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang menguasai pendengaran
dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala
urusan? Maka mereka akan menjawab: Alloh.” [Yunus: 31]
Tetapi tauhid ar-rububiyyah
saja—dengan hamba mengimani bahwa Alloh adalah yang menciptakannya,
memberinya rezeki dan menghidupkannya—tidak cukup untuk masuknya dia ke dalam
Islam selama dia tidak meyakini tauhid al-uluhiyyah.
2.
Tauhid al-uluhiyyah, yaitu mentauhidkan
Alloh ta’ala dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti berdoa, bernadzar,
menyembelih, berharap, takut, keinginan, cemas, bertaubat, memohon pertolongan,
memohon perlindungan, mengagungkan, rukuk, berjihad, dsb. Ma’nanya adalah bahwa
hamba menunaikan ibadah demi mendekatkan diri kepada Alloh semata. Jika dia
melakukan itu, maka dia telah menjadi seorang muslim yang telah mewujudkan
tauhid. Adapun jika hamba menunaikan ibadah seraya mendekatkan diri dengannya
kepada selain Alloh, atau mengarahkan sebagian darinya kepada Alloh dan
sebagian yang lain kepada selain Alloh, maka dia belum mewujudkan tauhid dan
jatuh ke dalam syirik. Wal ‘iyadzu billah.
Tauhid al-uluhiyyahyang
juga dinamakan tauhid ibadah,adalah sebab para rosul ‘alayhimussalamdiutus.
Karena, setiap rosul memulai dakwahnya kepada kaumnya dengan perintah untuk
mentauhidkan ibadah. Alloh ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللهَ.
“Dan sungguh, Kami telah mengutus dalam setiap umat
seorang rosul (untuk menyerukan): Sembahlah Alloh ...” [an-Nahl:
36]
Dan Nuh, Hud, Sholih,
dan Syu’aib mengatakan perkataan yang sama,
يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ.
“Wahai kaumku! Sembahlah Alloh! Tidak ada sembahan
bagi kalian selain Dia.” [al-A’rof: 59, 65, 73, 85]
Di antara jenis-jenis
tauhid, jenis inilah yang diperselisihan sejak zaman dahulu hingga zaman
sekarang antara para rosul dan umat-umat mereka, serta menjadi sebab Rosululloh
shollaAllohu ‘alayhi wa sallam memerangi orang-orang kafir Quroisy dan sebab
Khulafa’ Rosyidun memerangi orang-orang murtad.
3.
Tauhid
al-asma’ wa ash-shifat, yaitu mengimani semua
yang disebutkan dalam al-Qur-an al-Karim dan hadis-hadis shohih dari nama-nama
Alloh dan sifat-sifat-Nya yang dengan itu Dia menyifati diri-Nya sendiri atau
dengannya Rosul-Nya shollaAllohu ‘alayhi wa sallam menyifati-Nya, dalam
pengertian yang sebenarnya, serta meyakini bahwa Alloh itu:
لَيْسَكَمِثْلِهِشَيْءٌوَهُوَالسَّمِيعُالْبَصِيرُ.
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia
maha mendengar lagi maha melihat.” [asy-Syuro: 11]
Wajib hukumnya
mengimani nama-nama Alloh dan sifat-sifat-Nya yang ada dalam al-Kitab dan as-Sunnah
dengan ma’na-ma’nanya dan hukum-hukumnya berdasarkan pemahaman salaf sholih.
Nama-nama Alloh dan sifat-sifat-Nya diketahui dari al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak
boleh bagi seseorang —siapapun dia—untuk mendatangkan dari dirinya sendiri
sebuah nama atau sebuah sifat bagi Alloh ta’ala. Sebab, nama-nama Alloh dan
sifat-sifat-Nya adalah perkara tawqifiyyah. Artinya, di dalamnya kita
berhenti pada nama-nama yang disebutkan atau disifati Allohuntuk diri-Nya
sendiri, atau yang disebutkan atau disifati olehRosul-Nya shollaAllohu ‘alayhi
wa sallam.
Nama-nama Alloh
semuanya bagus (husna),Dan ada banyak, di antaranya: ash-Shomad (tempat
meminta segala sesuatu), al-Bari’ (Sang Pencipta), as-Sami’ (Maha Mendengar), al-Bashir
(Maha Melihat), ar-Rohman (Maha Pengasih), ar-Rohim (Maha Penyayang), …
sebagaimana Alloh subhanahu memiliki banyak sifat yang semuanya luhur, di
antaranya; ar-rohmah, al-quwwah (kuat), al-hikmah (bijaksana), al-hayah
(hidup), al-‘izzah (perkasa), al-‘ilmu, al-jabarut (kekuasaan), dsb.
Insya Allah Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar