Kamis, 24 Maret 2016

Sepuluh Perkara dalam Aqidah Yang Tidak Boleh Tidak Diketahui Oleh Seorang Muslim dan Wajib Dipelajari 1

Segala puji bagi Alloh. Sholawat dan salam semoga terlimpah kepada Rosululloh, keluarganya, para sahabatnya, dan siapa saja yang loyal padanya. Amma ba'd:

Rosululloh shollaAllohu ‘alayhi wa sallam telah bersabda:

طَلَبُ العِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya. Sanadnya didho’ifkan oleh mayoritas ahli ilmu dan dihasankan oleh yang lain seperti as-Suyuthiy dan al-Mizziy. Tetapi ma’na hadis disepakati di antara ahlul ilmu.]

Mengomentari hadits ini, al-Bayhaqiy berkata: “Yang beliau maksud —wallohu a’lam—tidak lain adalah ilmu umum yang tidak boleh tidak diketahui oleh orang baligh yang berakal.” [al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubro]

Imam asy-Syafi’iy ditanya: “Apa itu ilmu? Dan apa di antara yang wajib atas manusia?” Dia berkata: “Ilmu itu ada dua macam. (Pertama), ilmu yang tidak boleh tidak diketahui oleh orang baligh yang akalnya tidak rusak. Ilmu ini ada dalam Kitab Alloh, serta diriwayatkan dan diceritakan oleh kaum muslimin dari RosulullohshollaAllohu ‘alayhi wa sallam. Dan mereka tidak berselisih tentang kewajibannya.” [ar-Risalah karya asy-Syafi’iy]

Di antara yang disepakati oleh para ahlul ‘ilmi adalah bahwa ilmu syar’i terbagi—dari segi kewajibannya—ke dalam dua jenis:

Pertama, fardhu kifayah, yaitu yang wajib dipelajari dan dijaga oleh umat Islam secara keseluruhan. Jika sebagian dari kaum muslimin telah mengerjakannya dengan cukup, maka mereka mendapatkan keutamaan dan pahala, dan dosa telah gugur dari semua. Dan jika tidak ada sebagian yang mengerjakannya dengan cukup, maka seluruh kaum muslimin berdosa. Di antara ilmu yang fardhu kifayah adalah: menghafal al-Qur-an dan tafsirnya, hadits dan ilmu-ilmunya, ushul fiqh, dsb.

Jenis kedua dari ilmu sya’i adalah fardhu ‘ayn, wajib atas setiap mukallaf—yaitu setiap muslim yang baligh dan berakal—untuk mempelajarinya. Jika dia berpaling darinya atau melalaikannya, maka dia berdosa. Dan di antara perkara-perkara yang hukumnya fardhu ‘ain atas setiap muslim dan muslimah untuk mempelajarinya dalam aqidah adalah:

Perkara pertama: al-Ushul ats-Tsalatsah (Tiga Hal Pokok)

Yaitu pengetahuan hamba tentang Robbnya, agamanya, dan Nabi-Nya MuhammadshollaAllohu ‘alayhi wa sallam.

Jika dikatakan kepadamu: “Siapa Robbmu?” maka katakanlah: Robbku adalah Alloh yang telah mengurusku dan mengurus alam semesta dengan nikmat-nikmat-Nya. Dan Dia adalah Sembahanku. Aku tidak memiliki sembahan selain-Nya.

Jika dikatakan kepadamu: “Apa agamamu?” maka katakanlah: Agamaku adalah Islam. Dan ia adalah berserah diri pada Alloh dengan tauhid, tunduk pada-Nya dengan ketaatan, serta berlepas diri dari kesyirikan dan para para penganutnya.

Dan jika dikatakan kepadamu: “Siapa Nabimu?” maka katakanlah: Muhammad bin Abdulloh bin Abdul Muththolib bin Hasyim. Hasyim adalah sebagian dari kabilah Quroisy. Kabilah Quroisy adalah sebagian dari bangsa Arab. Dan bangsa Arab adalah keturunan Isma’il bin Ibrohim‘alayhima wa ‘ala nabiyyina afdholush sholati wat taslim.


Perkara kedua: pokok agama dan pondasinya adalah dua perkara

1.       Perintah untuk beribadah kepada Alloh semata tiada sekutu bagi-Nya, motivasi untuk melakukan itu, loyalitas atas dasarnya, dan mengkafirkan orang yang meninggalkannya.
2.       Peringatan akansyirik dalam beribadah kepada Alloh, kecaman keras terhadapnya, permusuhan atas dasarnya, dan pengkafiran orang yang mengerjakannya.

Dari pokok ini bercabanglah aqidah al-wala’ wal baro’ yang kokoh. Dan pokok aqidah ini berdiri di atas prinsip pemisahan dan pembedaan antara kaum muslimin dan lainnya atas dasar agama, bukan atas dasar tanah dan nasionalisme. Seorang muslim muwahhid adalah saudaraku di jalan Alloh, aku loyal kepadanya dan menolongnya, meskipun dia adalah orang yang (berjarak) paling jauh. Sementara orang kafir dan orang murtad adalah musuhku,aku membenci dan memusuhinya, meskipun dia adalah orang yang (berjarak) paling dekat.

Perkara ketiga: ma’nala ilaha illalloh

Laa ilaaha illaAlloh adalah pemisah antara kufr dan Islam, ia adalah kalimat taqwa (kalimatut taqwa) dan ia adalah tali yang kuat (al-‘urwah al-wutsqo), ia tidak terwujud dengan sekadar mengucapkannya disertai ketidaktahuan tentang ma’nanya dan tanpa mengerjakan konsekuensinya. Sebab, orang-orang munafiq mengucapkannya, tetapi mereka berada di tingkatan paling bawah dari neraka. Ia hanya terwujud dengan mengucapkannya, mengetahui ma’nanya, mencintainya, mencintai para penganutnya dan loyal kepada mereka, serta membenci orang yang menyelisihinya, memusuhinya, dan memeranginya.

Syahadat laa ilaaha illaAlloh adalah penafian dan penetapan. Laa ilaaha (tiada ilah) menafikan segala macam peribadatan dari selain Alloh ta’ala. Dan illaAlloh(kecuali Alloh) menetapkan segala macam peribadatan kepada Alloh semata tiada sekutu bagi-Nya.


Di antara konsekuensi syahadat laa ilaaha illaAlloh adalah syahadat bahwa Muhammad Rosululloh. Dan syahadat Muhammad Rosululloh terwujud dengan mentaati Nabi shollaAllohu ‘alayhi wa sallam dalam apa yang diperintahkannya, menjauhi apa yang dilarang dan dicegahnya, dan membenarkannya dalam apa yang diberitakannya.

Perkara keempat: syarat-syarat laa ilaaha illaAlloh

Alloh ta’ala menjadikan kalimat tauhid laa ilaaha illaAllohsebagai tanda masuk ke dalam Islam, harga surga dan sebab keselamatan dari neraka. Tetapi ia tidak akan bermanfaat bagi orang yang mengucapkannya selama dia tidak mewujudkan syarat-syaratnya. Telah dikatakan kepada al-Hasan al-Bashriy: “Sesungguhnya ada orang-orang yang megatakan: Barang siapa mengucapkan laa ilaaha illaAlloh, maka dia akan masuk surga?” Dia berkata: “Barang siapa mengucapkan laa ilaaha illaAlloh, lalu menunaikan hak dan kewajibannya, maka dia akan masuk surga.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam karya Ibnu Rojab al-Hanbaliy]

Imam al-Bukhoriy berkata: Dikatakan kepada Wahb bin Munabbih: “Bukankah laa ilaaha illaAlloh adalah kunci surga?” Dia berkata: “Benar. Tetapi tidak ada kunci kecuali ia memiliki gerigi. Jika engkau membawa kunci yang memiliki gerigi, maka akan dibukakan bagimu. Dan jika tidak, maka tidak akan dibukakan bagimu.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam karya Ibnu Rojab al-Hanbaliy]

Gerigi kunci surga adalah syarat-syarat laa ilaaha illaAlloh. Dan syarat-syarat laa ilaaha illaAllohadalah:

1.       Pengetahuan tentang ma’nanya dari segi penafian dan penetapan.
2.       Yaqin, yaitu kesempurnaan pengetahuan tentangnya yang meniadakan keraguan dan kebimbangan.
3.       Ikhlash yang meniadakan syirik.
4.       Kejujuran yang meniadakan kedustaan.
5.       Kecintaan kepada kalimat ini dan kepada apa yang ditunjukkan olehnya, serta kegembiraan dengan hal itu.
6.       Ketundukan terhadap hak-haknya dengan ikhlash untuk Alloh dan demi mencari ridho-Nya.
7.       Penerimaan yang meniadakan penolakan.

Semua syarat ini ditunjukkan oleh dalil-dalil yang jelas dari al-Kitab dan as-Sunnah yang shohih.

Perkara kelima: pembatal-pembatal Islam

Ada banyak hal-hal yang mengeluarkan seorang muslim dari lingkaran Islam, dan jika dia melanggar maka dijatuhkan padanya nama murtad dari agama tauhid. Yang terbesar di antaranya sepuluh, yaitu:


1.       Syirik dalam beribadah kepada Alloh ta’ala.
2.       Menjadikan antara dirinya dan Alloh perantara-perantara yang dia seru, dia mintai syafa’at dan dia jadikan sebagai sandaran (tawakkal).
3.       Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan madzhab mereka.
4.       Meyakini bahwa selain petunjuk Nabi shollaAllohu ‘alayhi wa sallam lebih sempurna daripada petunjuk beliau atau bahwa keputusan selain beliau lebih baik daripada keputusan beliau.
5.       Membenci sesuatu dari apa yang dibawa oleh Rosululloh shollaAllohu ‘alayhi wa sallam.
6.       Mengolok-olok Alloh atau Kitab-Nya atau Rosul-Nya.
7.       Sihir, di antaranya shorf (memalingkan laki-laki dari istrinya atau sebaliknya, -pent) dan ‘athf (menimbulkan kecintaan laki-laki kepada istrinya atau sebaliknya, -pent).
8.       Mendukung kaum musyrikin dan membantu mereka terhadap kaum muslimin.
9.       Meyakini bahwa sebagian manusia boleh keluar dari syariat Nabi Muhammad shollaAllohu ‘alayhi wa sallam, sebagaimana Khidhir boleh keluar dari syariat Musa ‘alayhis salam.
10.    Berpaling dari agama Alloh ta’ala, tidak mempelajarinya dan tidak mengamalkannya.

Dalam seluruh pembatal Islam tersebut tidak ada bedanya antara orang yang bersenda gurau, serius ataupun karena takut, kecuali orang yang terpaksa.

Perkara keenam: macam-macam tauhid

1.   Tauhid ar-rububiyyah, yaitu mentauhidkan Alloh dengan perbuatan-perbuatan-Nya. Itu terwujud dengan meyakini bahwa Alloh adalah yang menciptakan semua makhluk sendirian, memberi mereka rezeki sendirian, dan mengatur segala urusan sendirian.

Mayoritas manusia—dengan fitrah mereka—meyakini bahwa Alloh adalah Al-Kholiq (yang menciptakan), Ar-Roziq (yang memberi rezeki), Al-Muhyi (yang menghidupkan), dan Al-Mumit (yang mematikan). Mereka mengakui semua itu dan membenarkannya. Bahkan sampai orang-orang kafir yang diperangi oleh Rosululloh shollaAllohu ‘alayhi wa sallam dan dihalalkan oleh beliau darah dan harta mereka pun membenarkan semua itu. Dalilnya firman Alloh ta’ala:

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللهُ.
“Katakanlah (Muhammad): Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab: Alloh.” [Yunus: 31]

Tetapi tauhid ar-rububiyyah saja—dengan hamba mengimani bahwa Alloh adalah yang menciptakannya, memberinya rezeki dan menghidupkannya—tidak cukup untuk masuknya dia ke dalam Islam selama dia tidak meyakini tauhid al-uluhiyyah.

2.   Tauhid al-uluhiyyah, yaitu mentauhidkan Alloh ta’ala dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti berdoa, bernadzar, menyembelih, berharap, takut, keinginan, cemas, bertaubat, memohon pertolongan, memohon perlindungan, mengagungkan, rukuk, berjihad, dsb. Ma’nanya adalah bahwa hamba menunaikan ibadah demi mendekatkan diri kepada Alloh semata. Jika dia melakukan itu, maka dia telah menjadi seorang muslim yang telah mewujudkan tauhid. Adapun jika hamba menunaikan ibadah seraya mendekatkan diri dengannya kepada selain Alloh, atau mengarahkan sebagian darinya kepada Alloh dan sebagian yang lain kepada selain Alloh, maka dia belum mewujudkan tauhid dan jatuh ke dalam syirik. Wal ‘iyadzu billah.

Tauhid al-uluhiyyahyang juga dinamakan tauhid ibadah,adalah sebab para rosul ‘alayhimussalamdiutus. Karena, setiap rosul memulai dakwahnya kepada kaumnya dengan perintah untuk mentauhidkan ibadah. Alloh ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللهَ.
“Dan sungguh, Kami telah mengutus dalam setiap umat seorang rosul (untuk menyerukan): Sembahlah Alloh ...” [an-Nahl: 36]

Dan Nuh, Hud, Sholih, dan Syu’aib mengatakan perkataan yang sama,
يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ.
“Wahai kaumku! Sembahlah Alloh! Tidak ada sembahan bagi kalian selain Dia.” [al-A’rof: 59, 65, 73, 85]

Di antara jenis-jenis tauhid, jenis inilah yang diperselisihan sejak zaman dahulu hingga zaman sekarang antara para rosul dan umat-umat mereka, serta menjadi sebab Rosululloh shollaAllohu ‘alayhi wa sallam memerangi orang-orang kafir Quroisy dan sebab Khulafa’ Rosyidun memerangi orang-orang murtad.

3.   Tauhid al-asma’ wa ash-shifat, yaitu mengimani semua yang disebutkan dalam al-Qur-an al-Karim dan hadis-hadis shohih dari nama-nama Alloh dan sifat-sifat-Nya yang dengan itu Dia menyifati diri-Nya sendiri atau dengannya Rosul-Nya shollaAllohu ‘alayhi wa sallam menyifati-Nya, dalam pengertian yang sebenarnya, serta meyakini bahwa Alloh itu:

لَيْسَكَمِثْلِهِشَيْءٌوَهُوَالسَّمِيعُالْبَصِيرُ.
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia maha mendengar lagi maha melihat.” [asy-Syuro: 11]

Wajib hukumnya mengimani nama-nama Alloh dan sifat-sifat-Nya yang ada dalam al-Kitab dan as-Sunnah dengan ma’na-ma’nanya dan hukum-hukumnya berdasarkan pemahaman salaf sholih. Nama-nama Alloh dan sifat-sifat-Nya diketahui dari al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak boleh bagi seseorang —siapapun dia—untuk mendatangkan dari dirinya sendiri sebuah nama atau sebuah sifat bagi Alloh ta’ala. Sebab, nama-nama Alloh dan sifat-sifat-Nya adalah perkara tawqifiyyah. Artinya, di dalamnya kita berhenti pada nama-nama yang disebutkan atau disifati Allohuntuk diri-Nya sendiri, atau yang disebutkan atau disifati olehRosul-Nya shollaAllohu ‘alayhi wa sallam.

Nama-nama Alloh semuanya bagus (husna),Dan ada banyak, di antaranya: ash-Shomad (tempat meminta segala sesuatu), al-Bari’ (Sang Pencipta), as-Sami’ (Maha Mendengar), al-Bashir (Maha Melihat), ar-Rohman (Maha Pengasih), ar-Rohim (Maha Penyayang), … sebagaimana Alloh subhanahu memiliki banyak sifat yang semuanya luhur, di antaranya; ar-rohmah, al-quwwah (kuat), al-hikmah (bijaksana), al-hayah (hidup), al-‘izzah (perkasa), al-‘ilmu, al-jabarut (kekuasaan), dsb. 

Insya Allah Bersambung...



0 komentar:

Posting Komentar